Malam ini, tak terasa air mata deras mengalir membasahi pipiku.
Berteman notebook dan tumpukan buku, anganku bergegas menerawang
kenangan masa lalu. Saat-saat bersama Ayah tercinta, yang begitu
kental menjejakkan arti di kedalaman kalbu.
Adalah sebuah kisah, kenyataan juang seorang Ayah di desa terpencil,
di Jawa Tengah. Usia yang tak lagi muda, tetap tak memupuskan semangat
untuk membesarkan dan mendidik anak semata wayang sampai meraih cita
yang diidamkan. Ia tak berpendidikan tinggi, layaknya saudara dan
tetangga di kampungnya yang bisa sekolah sampai SMA bahkan perguruan
tinggi. Ia hanya lulusan Sekolah Dasar. Fakta hidup bahwa ia adalah anak
tertua di keluarga, membuatnya lebih dewasa, menjadi tumpuan
kelangsungan hidup dan pendidikan adik-adiknya. Meski usia masih muda,
ia adalah tulang punggung keluarga. Tak pernah terbesit sedikit pun
berontak, berlari meninggalkan tanggung jawab, dan membiarkan kedua
orang tuanya yang sudah menginjak lanjut usia mengurus keluarga.
Alhasil, setamat SD ia langsung merantau mencari sesuap nasi untuk
menghidupi kelima adik dan orang tua tercinta.
Tempaan hidup, kematangan, dan kesabaran memikul tanggung jawab
sewaktu muda, membawanya menjadi pribadi yang berwibawa. Sampai, suatu
saat ia ditinggalkan istri tercinta, yang mendahului bertemu Sang
Pencipta. Saat Ibunda tutup usia, saya masih berumur 3 tahun. Saat itu,
Ayah memutuskan untuk ‘tidak’ menikah kembali sebelum melihat buah
hatinya besar dan sukses. Entah, jujur keputusan ini belum saya dengar
langsung dari Ayah. Tak sedikit pun ia pernah bercerita tentang dirinya.
Namun, dari kisah yang saya dapat dari teman dan kerabat dekatnya,
begitulah Ayah bertekad.
Sesosok Ayah yang hebat. Itulah kalimat ringkas, yang meski sederhana tapi menurut saya cukup mewakili pengorbanan Ayah dalam memperjuangkan hidup dan penghidupan keluarga. Masih tersimpan dalam memori otak saya, beberapa episode mengharukan bersamanya.
Sesosok Ayah yang hebat. Itulah kalimat ringkas, yang meski sederhana tapi menurut saya cukup mewakili pengorbanan Ayah dalam memperjuangkan hidup dan penghidupan keluarga. Masih tersimpan dalam memori otak saya, beberapa episode mengharukan bersamanya.
Sewaktu kecil, melihat anak-anak berseragam putih merah berangkat
menimba ilmu, saya merengek minta masuk sekolah. Segala upaya dilakukan
Ayah, kakek, dan nenek untuk meredam ‘tindakan aneh’ saya yang
menginginkan sekolah. Saat itu kata guru SD usia saya belum mencukupi
kriteria masuk sekolah. Tak lazim anak seumuran saya sudah masuk
sekolah, harus menunggu waktu setahun lagi baru boleh mengenyam
pendidikan SD (‘kebijakan’ yang baru saya sadari berbeda dengan
kenyataan di kota besar, usia saya saat itu sebenarnya sudah
diperbolehkan sekolah). Berulang kali Ayah menjelaskan kepada saya
alasan kenapa tidak boleh sekolah saat itu. Namun, berulang kali juga
rengekan saya menjadi-jadi. Akhirnya, dengan segala upaya Ayah mencoba
menuturkan keinginan saya ke pihak sekolah. Alhamdulillah, akhirnya saya
bisa mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Dari sini saya belajar, betapa
rasa sayang sesosok lelaki ber-‘mahkota’ Ayah sangat tinggi terhadap
buah hatinya.
Lain waktu, saat saya duduk di bangku SLTP, ada kejadian yang tak
kalah mengharubirukan hati. Kala itu, hujan semalam yang mengguyur bumi
menyisakan limpahan air bah banjir di desa dan kecamatan kami. Pagi hari
menjelang jam berangkat sekolah, dengan sisa-sisa air banjir yang masih
mengalir deras menyusuri jalanan tak beraspal, tak mungkin bagi saya
naik sepeda seperti biasa karena jalanan becek. Pun, tak mudah bagi saya
mendapatkan angkutan umum semacam mini bus karena pagi itu jam padat
anak sekolah dan pedagang. Di tengah kesulitan dan keinginan masuk
sekolah tersebut, Ayah menyambut dengan tindakan. Ia akan mengantarkan
saya ke sekolah dengan sepeda tuanya. Artinya, ia menerjang deras nya
aliran banjir, mengalahkan liatnya tanah yang menempel di roda-roda
sepeda, serta menempuh minimal setengah jam perjalanan dari rumah ke
sekolah yang berada di pusat kecamatan. Itulah Ayah. Ia mengajari ku
arti pengorbanan. Tak ada rasa malu baginya mengantarkan buah hati
menuju cita-cita ‘bersekolah’ meski hanya berbekal sepeda tua, berlomba
menunjukkan ‘cinta’-nya kepada orang tua lain yang mengantarkan anak
mereka dengan sepeda motor atau mobil pribadi. Ketika kaki berlumur
lumpur itu mengayuh sepeda, kulihat wajah yang tetap anggun dan
memancarkan aura semangat kepada jantung hatinya. Seolah-olah, dengan
tetes keringat yang menempel di dahi bergurat terik mentari itu ia
berkata “Nak, ayo…Ayah mendukungmu. Apa pun yang kamu inginkan, kan
kuturuti. Tak peduli kata orang. Semampu ku, insya Allah akan ku bantu”.
Menjelang lulus SMU, alhamdulillah saya diterima di sebuah Perguruan
Tinggi Negeri ternama melalui jalur PMDK. Saya ingat, saat itu masih
bulan Maret-April. Jauh hari sebelumnya, saya pernah berujar pada Ayah
bahwa saya akan melanjutkan kuliah. Mendengar keinginan saya, Ayah pun
bertanya tentang waktu masuk kuliah nya. Karena dulu saya belum
menentukan secara spesifik akan melanjutkan ke PT mana dan jurusan apa,
saya bilang sesuai pengetahuan saya bahwa biasanya mahasiswa mulai aktif
kuliah bulan Agustus atau September. Apa gerangan Ayah menanyakannya?
Ya, tentu berkaitan dengan persiapan dana yang tidak sedikit untuk masuk
kuliah. Namun, pengumuman PMDK yang ‘lebih’ awal, sempat membuat saya
kaget bercampur gembira. Di pengumuman tersebut, saya harus mendaftar
ulang dan memulai kuliah matrikulasi bulan Juni. Ini 3 bulan lebih awal
dari bayangan saya. Kabar ini langsung saya beritakan kepada Ayah. Lalu,
surat pengumuman pun saya berikan. Melihat isi pengumuman, Ayah
gembira. Namun, sejurus kemudian ia termenung dan dengan mata agak
berkaca-kaca ia berujar, “Jadi, masuknya bulan Juni?”
Tak aneh bagi saya mendengar pertanyaan Ayah. Ya, terkaan saya benar:
biaya. Setidaknya jadwal kuliah yang lebih awal itu belum diprediksi
Ayah. Boleh jadi, saat itu ia belum memperoleh uang yang cukup untuk
membiayai perkuliahan saya. Dengan nada optimis, saya berujar pada Ayah
“Tenang, Ayah…nggak usah mempermasalahkan biaya. Insya Allah saya akan
usaha nyari uang pinjaman ke guru-guru di SMU”. Entah, kenapa saat itu
saya sangat optimis. Mungkin, keinginan terbesar saat itu bagi saya
adalah bagaimana mata Ayah yang berkaca-kaca, disertai dengan suara
bergetar karena menangis belum mendapatkan sejumlah uang yang harus
disiapkan untuk daftar ulang kuliah, segera terhenti dan beralih bahagia
karena anak semata wayangnya diterima kuliah di PTN favorit. Masya
Allah, fabi ayyi aalaa’i robbikumaa tukadz-dzibaan? Bukankah Engkau
telah menganugerahkan Ayah yang pantang menyerah menyekolahkan anak-nya?
(*/Syef)
“Semoga Allah melimpahkan nikmat iman, Islam, dan keberkahan hidup
pada Ayahanda nun jauh di sana. Maafkan, Ananda belum bisa menjadi
tumpuan yang diharapkan. Suatu saat, kuingin kita berkumpul, bercerita
tentang anakmu, harapanmu, dan kebahagiaanmu”.
(*/Sebagaimana dikisahkan oleh seorang mahasiswa. Kini, ia tengah
menempuh program magister sambil bekerja di sebuah institusi perguruan
tinggi. Semasa meraih pendidikan sarjana, ia mendapatkan beasiswa penuh
dari berbagai institusi dan atas nama pribadi. “Saya yakin, Allah selalu
memberikan yang terbaik bagi kami”, ujarnya optimis)
You might also like:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar